Monday 7 May 2012

Ambil Sisi Positif Peringatan Maulid Nabi


اللهم صل على سيدنا محمد

Peringatan maulid Nabi Muhammad saw. Atau yang lebih dikenal dalam Bahasa Jawa dengan istilah mauludan –meski sejatinya penyebutan itu salah, yang benar adalah maulidan dari kata maulid— adalah ritual keagamaan untuk menghormati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Acara yang mendatangkan sekumpulan orang ini biasanya diisi dengan bacaan al Qur’an, sejarah Nabi dan mauidzoh, lalu dilanjutkan dengan memakan hidangan yang berupa nasi atau kue (I’anah tholibin juz iii hal 364).

Peringatan semacam ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Indonesia saja namun juga di negara Malasyia, Brunai, Mesir, Yaman, Aljazair, Maroko, bahkan juga sebagaian masyarakat Arab Saudi dan negara-negara lain. Terlepas dari pro dan kontra pelaksanaan maulidan, acara ini banyak mengandung manfaat walaupun sisi mafsadahnya (aspek negatifnya) kadang-kadang juga muncul. Dari aspek pelaksanaannya, maulidan dapat pula digunakan sebagai media berdakwah. Dengan diselip-kannya mauidzoh hasanah (penyam-paian nasehat) dalam acara tersebut, para da’i dapat memanfaatkan peluang ini untuk menyampaikan pesan-pesan agama dan pencerahan untuk memperbaharui semangat keber-islaman.

Berdakwah kepada seratus orang secara perorangan misalnya, dibutuhkan waktu yang panjang dan tenaga da’i yang tidak kecil, namun dengan adanya acara semacam maulidan ini waktu dan tenaga dapat dihemat. Acara maulidan dapat juga sebagai wahana yang efektif untuk membumikan sholawat dan hubbur-rasul waali baitihi (mencintai Rasul dan ahlu baitnya). Di saat banyak orang bingung dengan jati dirinya dan kebingungan mendapatkan figur panutan, maka dalam acara ini mereka dapat segera mengingat, bahwa figur panutan yang sebenarnya adalah Rasulullah saw. sebagai manusia paling sempurna. Perilaku Rasulullah hendaknya dalam forum itu dikupas habis dengan bahasa yang dapat dipahami, agar masyarakat mengetahui betapa tinggi akhlaq dan pribadi beliau, mulai kedermawanan, belas kasihnya, ketegasan, dan pola pikir serta pandangan hidupnya. Semuanya adalah suri tauladan yang tiada bandingan. Pesan nabi dalam salah satu sabdanya addibuu auladakum ‘ala tsalasi khisoolin hubbi nabiyyikum wahubbi aali baitihi …. (Didiklah anak-anakmu dengan tiga perkara, cinta terhadap nabinya dan cinta anak keturunannya….).

Cinta bisa tumbah, bila mereka mengenal beliau. Tak kenal, maka tak sayang. Dengan adanya maulidan, sejak dini anak-anak sudah mengenal nabinya yang pada akhirnya akan menumbuhkan kekaguman dan cinta kepadanya. Bila peluang ini dapat dimanfaatkan secara efektif oleh para orang tua, tidak mustahil bisa muncul generasi cinta Rasul yang dapat menggantikan generasi linglung karena salah mengambil figur.

Maulidan bisa juga menjadi sarana untuk menumbuh kembangkan rasa peduli dan tanggap dengan sesama muslim yang akhir-akhir ini semangat ini makin menipis, akibat terongrong oleh sifat individualistis, sebuah sifat yang muncul karena berkembangnya virus matrealisme. Kisah sahabat Anshar yang berani membagi harta benda bahkan istri mereka (dengan mentalak lalu menikahkan) pada sahabat Muhajirin mungkin dapat sebagai pelatuk untuk meluncurkan rasa ukhuwwah dalam dada kaum muslim. Man la yahtamma biumuuril muslimin falaisa minhum, barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslim maka tidak terrmasuk golongannya.

Saat ini kaum muslim secara makro sedang terancam eksistensinya, dipojokkan dan diberi label teroris atau konservatif. Di satu sisi yang lain, kaum muslim justru masih banyak menerima teror, intimidasi dan diskriminasi terutama mereka yang minoritas. Mengapa kaum muslim saat ini tidak menyatukan tekat, mengobarkan semangat ukhuwah sahabat Anshor dan Muhajirin, dengan membantu saudara kita yang lagi menderita di berbagai belahan dunia, di Palestina, Kashmir, Kamboja, dan lain-lain? Atau dengan membantu saudara kita di Aceh dan Sumatra utara, atau saudara yang dekat dengan rumah kita karena lagi tergencet tiang ekonominya dengan efek domino dari carur marutnya perekomnomian global ?

Berkumpulnya kaum muslim dalam sebuah pertemuan keagamaan, dapat memberikan dampak psikologis yang positif sekaligus dapat meningkatkan syiar Islam. Musuh Islam akan keder dengan kebersamaan kaum Muslimin. Dalam kaitan ini kita dapat mengambil hikmah dari catatan sejarah Ibadan Haji, bahwa agama mengarahkan pelakunya untuk melakukan thowaf di ka’bah dengan semangat dan penuh ekpresi, lebih-lebih pada saat berjalan njinjit, tak lain dan tak bukan maksud yang dikandung dari ritual itu agar kaum musyrik pada saat itu merasa gentar dengan keberadaan Islam. Mereka akan merasa takut karena kaum muslimin pada saat itu bukan lagi kaum yang loyo dan lemah. Indikasinya, kaum Muslimin dalam melaksanakan ibadahnya penuh semangat dan optimistis. Hal itu pulalah yang mendasari anjuran untuk tegas dan tidak lembek dalam melafadkan takbir sholat. Show of force suatu ketika menjadi sangat penting guna menunjukkan identitas diri.

Meski maslahahnya sangat banyak, maulidan kadang-kadang juga menimbulkan mafsadah, manakala acaranya dikemas dengan tidak mengindahkan aturan syara’. Bercampurnya pria dan wanita tanpa ada pemisah, jelas sebuah kemung-karan. Islam jelas melarang adanya ikhtilat (percampuran) antara pria dan wanita meski dengan alasan mengaji dan menghormat Rasul.

Fenomena ikhtilat ini sering tampak dalam peringatan maulid di lingkungan kita, pengisi acaranya dipilihkan kaum perempuan, mulai dari penceramah, pembaca ayat suci atau pembaca sholawat sampai penyaji hidangan dan penerima tamu semuanya wanita. Padahal pengun-jungnya sebagian besar kaum pria. Apalagi bila turut pula ditampilkan sebuah hiburan musik misalnya, yang bisa mendatangkan fitnah.

Sisi negatif yang lain adalah bila shodaqah ambeng (nasi atau kue yang dibagikan dalam acara maulidan) itu dianggap sebuah kewajiban, sehingga mengorbankan perkara lain yang lebih penting. Mereka kadang-kadang mengakhirkan bayar hutang, demi bisa membuat ambeng maulidan, karena ada unsur gengsi.

Jika dampak negatif sebisa mungkin dieliminir, peringatan maulid tentu bernilai positif. Hanya saja, penajaman makna hakiki peringatan maulid sebagai sarana peneladanan sirah nabawiyah perlu utamakan, agar bias dan pancarannya benar-benar terasa. Kehambaran peringatan maulid sangat terasa antara lain karena sirah nabawiyah yang berupa Barzanji atau Diba’ hanya dibaca tanpa difahami dan dihayati. Sirah nabawiyah yang mengandung ‘ibroh yang agung dikalahkan oleh padatnya berbagai sambutan dan hiburan, akhirnya maulidan hanya seremonial belaka.

Semoga kita mendapat syafaat Nabi Muhammad SAW. Amiiin.

اللهم صل على سيدنا محمد
اللهم صل على سيدنا محمد

No comments:

Post a Comment